malam semakin larut, “waltz in
sorrow” terngiang jelas dari earphone mengiringi langkah tak jelas kita dan aku
masih saja mengamati punggungmu…seperti selalu, berjalan dibelakangmu melewati jalanan
penuh genangan air berwarna keperakan karna pantulan lampu jalan, berusaha
membaca isi pikiranmu dari balik punggungmu, kadang kupikir seharusnya aku
berlari memelukmu, mungkin bisa menjawab segalanya……
kita menyusuri jembatan di
pinggir laut, kau tak pernah menggenggam tanganku, entah apa yang kita cari,
entah apa yang kau pikirkan… mungkin jawaban akan perasaan kita masing-masing,
aneh, Kita bukanlah sepasang kekasih, tapi kita tak juga terpisah, entah bodoh
atau tak peka, aku tak pernah menyadarinya, yang selalu kuingat darimu, hanyalah…kau
selalu tersenyum menungguku di depan kelas saat kita masih berseragam abu-abu.
Dan kini… setelah terpisah bertahun lamanya, kau masih memiliki senyum yang sama,
waktu tak berarti bagi kita, entah kehidupan seperti apa yang telah kau jalani,
entah pula kepedihan apa yang telah kualami, sekalipun seluruh isi dunia
berubah, kita adalah pengecualian… sesaat kupikir seorang malaikat sedang
berdiri dihadapanku, dikirimkan Tuhan sebagai penghibur bagiku… bagaimana
mungkin aku sanggup meninggalkanmu sekalipun suatu saat nanti menghilang dari
hidupmu mungkin akan menjadi keharusan?
Kala itu, gelapnya malam tak
menghalangi kita menghirup aroma laut, kau tampak seperti seorang kekasih
impian yang keluar dari lembaran komik yang sering kubaca saat remaja, entah
berapa kali harus kutepis pikiran-pikiran bahwa kau terlalu sempurna untuk
kumiliki…ini tak mungkin, aku tak seberuntung itu. Kau mulai menceritakan
impian-impianmu, kusimak kata demi kata, berharap aku ada didalamnya, ini
pikiran paling liar… karna untuk pertama kalinya, aku melihatmu sebagai seorang
laki-laki, kau bukanlah seorang remaja belasan tahun yang selalu menemaniku
jalan kaki sepulang sekolah, menungguku mengikat tali sepatu, membagi rotinya
untukku, membuatkan PR untukku, bukan pula seseorang yang menangis di ruang UKS
yang kuhapus airmatanya, bukan lagi, kau tumbuh dengan baik, menjadi pemuda
tampan dengan senyuman hangat dan perangai bak malaikat, tak seperti aku yang
tak sepolos dulu… yang kadang tak punya hati. Terlampau naif jika aku mulai
menginginkanmu.
Dimanapun kau berada, kadang kau
kirimkan gambar laut, langit, gunung… padaku, seakan kau ingin aku merasakan
aroma ditempatmu berada. Kupikir… kau menempatkanku diposisi yang sulit,
bagaimana jika nanti… aku tak rela melepasmu? Bagaimana jika nanti... aku tak
sanggup hadir di upacara pernikahanmu? Bagaimana jika nanti kita terlampau
terlambat? harusnya kau jangan terlalu baik padaku, Aku kehilangan kemampuan
memilah-milah cinta dan persahabatan, tak mampu lagi menjabarkan defenisi
cinta… apa itu? Pertanyaan yang paling sulit kujawab, adalah suara hati
sendiri. Yang kutahu, aku terlalu terbiasa bersamamu. Yang kutahu, kau selalu
ada. yang kutahu, kaulah, sahabat… yang paling kucinta.
Haruskah aku menyerah atas nama
persahabatan?